Rumble in the Jungle: Ketika Dunia Terpaku pada “The Greatest”
Bayangkan: Kinshasa, Zaire, tahun 1974. Suasana panas, lembap, dan berdebar-debar. Ribuan pasang mata tertuju pada sebuah arena tinju di tengah hiruk-pikuk kota. Bukan sekadar pertandingan tinju biasa, ini adalah Rumble in the Jungle, pertarungan legendaris antara Muhammad Ali, si “The Greatest”, melawan George Foreman, juara dunia kelas berat yang tak terkalahkan.
Pertarungan ini bukan hanya tentang sabuk juara. Ini tentang politik, budaya, dan tentu saja, gengsi. Ali, dengan gaya bertinjunya yang unik dan kepribadiannya yang flamboyan, telah menantang Foreman, seorang petinju yang jauh lebih muda dan lebih kuat secara fisik. Foreman, dengan pukulannya yang dahsyat, dianggap sebagai mesin pemukul yang hampir tak terhentikan. Rasio kemenangannya yang mencolok membuat banyak orang meragukan Ali.
Ali vs Foreman: Perbedaan Gaya yang Menentukan
Perbedaan gaya bertinju keduanya sangat kontras. Foreman, seperti yang telah disinggung, adalah petinju power puncher. Ia mengandalkan pukulan keras dan langsung untuk menjatuhkan lawannya. Sementara Ali, dengan kecepatan dan kelincahannya, menggunakan strategi rope-a-dope yang jenius.
Strategi rope-a-dope ini, yang dirancang khusus untuk menghadapi Foreman, terlihat seperti Ali hanya bertahan dan membiarkan Foreman memukulnya. Ali bergelayut di tali ring, menyerap pukulan-pukulan keras Foreman, sambil sesekali memberikan serangan balik yang tepat sasaran. Strategi ini terlihat pasif, namun di baliknya tersimpan rencana yang cerdik. Ali tahu bahwa Foreman akan kelelahan dengan sendirinya setelah terus menerus melancarkan serangan-serangan dahsyat.